Psikologi Unaki
Rabu, 26 April 2017
Rabu, 12 April 2017
Rabu, 22 Maret 2017
BELAJAR STATISTIKA
HAKIKAT STATISTIKA

Istilah ‘statistika’ (bahasa Inggris: statistics) berbeda dengan ‘statistik’ (statistic). Statistika merupakan ilmu yang berkenaan dengan data, sedang statistik adalah data, informasi, atau hasil penerapan algoritma statistika pada suatu data. Ada dua hal yang sangat penting dari statistika yaitu:
1. Data yang tersedia / data historis.
Data merupakan suatu nilai numerik yang diperoleh dari keterangan masa lampau. Diolah menjadi informasi yang nantinya berguna dalam menentukan keputusan. Sedangkan menurut Rahayu kariadinata (2009), Data adalah sejumlah informasi yang dapat memeberikan gambaran tentang sesuatu keadaan atau masalah, baik yang berupa angka-angka, maupun berbentuk kategori, seperti: baik, buruk, tinggi, rendah. Data yang baik harus memenuhi beberapa persyratan berikut, yaitu objektif, relevan, up to date, representatif, dan dapat dipercaya.
2. Kriteria Keputusan dan Adanya Keputusan.
Dalam Statistika kita sering dihadapkan pada beberapa pilihan. Masing-masing pilihan memiliki nilai/ manfaat dan konsekuensi yang harus diambil atau dengan kata lain kita harus menentukan keputusan. Dari pilihan-pilihan tersebut akan muncul berbagai kriteria keputusan. Sama halnya dengan pilihan, masing-masing kriteria keputusan memiliki manfaat dan akibat bagi kita.
Fungsi-fungsi statistika menurut Budiyuwono (1987), diantaranya:
1. Menggambarkan data dalam bentuk tertentu. Tanpa adanya statistik, data akan menjadi kabur dan tidak jelas.
2. Menyederhakan data (keterangan) yang kompleks menjadi data rata, persentase, dan sebagainya.
3. Merupakan teknik untuk membuat perbandingan.
4. Memperluas pengalaman individu (dengan cara mempelajari kesimpulan berdasarkan penilaian lain).
5. Mengukur besaran suatu gejala.
6. Dapat menenutkan hubungan sebab akibat, dapat menentukan sebab-sebab pokok suatu gejala yang selanjutnya digunakan untuk mengadakan prediksi.
Manfaat statistika dalam kehidupan sehari-hari sangat beragam sebagai contoh sederhana:
1. Bagi ibu-ibu rumah tangga mungkin tanpa disadari mereka telah menerapkan statiska. Dalam membelanjakan uang untuk kebutuhan keluarganya sering melakukan perhitungan untung rugi, berapa jumlah uang yang harus dikeluarkan setiap bulannya untuk uang belanja, listrik, dll.
2. Sebagai mahasiswa, selain statistika dipelajari secara formal sebenarnya kita sudah menggunakannya dalam perhitungan Indeks prestasi.
3. Dalam dunia bisnis, para pemain saham atau pengusaha sering menerapkan statistika untuk memperoleh keuntungan. Seperti peluang untuk menanamkan saham.
4. Sedangkan dalam bidang industri, statistika sering digunakan untuk menentukan keputusan. Contohnya berapa jumlah produk yang harus diproduksi dalam sehari berdasarkan data historis perusahaan, apakah perlu melakukan pengembangan produk atau menambah varian produk, perlu tidaknya memperluas cabang produksi, dll.
Kehidupan mausia tidak akan terlepas dari penggunaan statistic apalagi seiring dengan berkembangnya IPTEK, sehingga ditemukannya inovasi-inovasi dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang statistika. Misalnya diciptakannya aplikasi SFSS, Microsoft excel, dan aplikasi yang lainnya agar memudahkan dalam proses statistika. Penggunaan statistika terkadang tidak disadari. Padahal banyak sekali hal-hal yang menggunakan statistika. Jadi, statistika itu sangat penting bahkan dapat berguna dalam menentukan keputusan meskipun kadangkala penggunaannya tidak disadari.
Belajar statistika merupakan hal yang bermanfaat. Meskipun sulit, tapi jika dipelajari dengan sabar, santai, menyenangkan, dan motivasi dari pengajar. Maka, kesulitan itu tidak akan begitu terasa. Karena tidak ada yang mudah, tapi tidak ada yang tidak mungkin.
KASUS PELANGGARAN KODE ETIK PSIKOLOGI YANG TIDAK MASUK PELANGGARAN HUKUM DI INDONESIA
KASUS PELANGGARAN KODE ETIK PSIKOLOGI YANG TIDAK MASUK PELANGGARAN HUKUM DI INDONESIA
Pemberitaan pelanggaran kode etik psikologi memang sudah banyak yang muncul di media cetak dan elektronik, mengenai psikolog klinis yang berhubungan seksual dengan kliennya. BBC News (2000) memberitakan bahwa seorang psikolog, yang sudah menikah, berhubungan seksual dengan klien wanitanya yang datang dengan tujuan untuk melakukan konseling. Kasus ini menyebabkan psikolog tersebut dikeluarkan dari British Psychological Society (BPS). Psikolog yang bernama tersebut Timothy Naylor dianggap melakukan pelanggaran kode etik profesi. Menurut Patricia Hitchcock, juru bicara BPS, menjelaskan bahwa hubungan personal muncul setelah sesi terapi dan berujung pada seks tanpa proteksi. Selain itu, Naylor juga meminta wanita tersebut untuk tidak menceritakan hal ini kepada terapis sebelumnya atau orang lain. Apabila wanita tersebut menceritakan hal ini, wanita tersebut bisa saja kehilangan pekerjaan dan hak asuh anaknya.
Brazas dari Lawyers.com (n.d.) juga memberitakan kasus serupa yaitu seorang psikolog asal Tampa, Florida, lisensinya dicabut setelah terbukti melakukan hubungan seksual dengan seorang kliennya. Selain itu, psikolog tersebut meminta perusahaan asuransi kliennya untuk membayar sejumlah 1.400 dollar Amerika untuk konsultasi “khusus” yang ternyata adalah pertemuan seksual psikolog dengan kliennya. Penahanan lisensi psikolog tersebut segera dilakukan setelah insiden itu diketahui. Psikolog tersebut memulai konseling dengan seorang wanita dan suaminya. Setelah perceraian wanita tersebut dengan suaminya, wanita tersebut kembali menemui psikolog tersebut untuk terapi. Tak lama kemudian, hubungan seksual antara psikolog dan wanita tersebut terjadi.
Tidak hanya terjadi di luar negri saja, namun di Indonesia di negeriyang kita cintai ini, juga terjadi kasus-kasus uang serupa terjadi seperti yang dituliskan oleh Anna Alhanna padaSelasa, 08 Januari 2013 di sitiroikhanah.blogspot.com, menyatakan bahwa Seorang psikolog laki-laki melakukan psikotes untuk penerimaan pramugari suatu perusahaan penerbangan terkemuka tempatnya bekerja. Ia tertarik dengan salah seorang perempuan cantik yang menjadi calon pramugari tersebut, namun ternyata ia gagal dalam tes. Psikolog tersebut melihat bahwa perempuan tersebut sangat membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Calon pramugari itu kemudian menawarkan bahwa ia mau melakukan hubungan seksual dengan psikolog itu, dengan syarat ia dapat diterima di perusahaan itu. Dan akhirnya psikolog itu tergiur dan menyepakati syarat pramugari tersebut.
Tidak hanya kasus pelecehan seksual saja yang dapat di langgar, seperti yang di jelaskan pada pasal Kode Etik Psikologi Indonesia Pasal 16 (dalam Juneman 2011) menjelaskan bahwa hubungan majemuk sedapat mungkin dihindari jika dapat menganggu objektifitas atau memunculkan eksploitasi atau dampak negatif. Kode Etik Psikologi Indonesia Pasal 14 (dalam Juneman, 2011), pelecehan seksual yang dilakukan oleh psikolog merupakan suatu hal yang terlarang karena dapat mengakibatkan efek negative.
Namun kasus kasus seperti pada pasal 4 tentang Penyalahgunaan di bidang Psikologi, Pasal 7 tentang Ruang Lingkup Kompetensi, Pasal 65 tentang Interpretasi Hasil Asesmen, Pasal 66 tentang Penyampaian Data dan Hasil Asesmen, pada Pasal 73 tentang Informed Consent dalam Konseling dan Terapi.
Adapun kasus tersebut di kutip dari asmianifawziah.blogspot.com pada 23 november 2012 yang di tulis oleh asmianifawziah, adapun kasus tersebut ialah Seorang ibu membawa anaknya yang masih duduk di bangku dasar kelas 2 ke psikolog di biro psikologi YYY.sang ibu meminta kepada psikolog agar anaknya diperiksa apakah anaknya termasuk anak autisme atau tidak. Sang ibu khawatir bahwa anaknya menderita kelainan autism karena sang ibu melihat tingkah laku anaknya berbeda dengan tingkah laku anak-anak seumurnya.Psikolog itu kemudian melakukan test terhadap anaknya. Dan hasilnya sudah diberikan kepada sang ibu, tetapi sang ibu tersebut tidak memahami istilah – istilah dalam ilmu psikologi. Ibu tersebut meminta hasil ulang test dengan bahasa yang lebih mudah dipahami. Setelah dilakukan hasil tes ulang, ternyata anak tersebut didiagnosa oleh psikolog yang ada di biro psikologi itu mengalami autis. Anak tersebut akhirnya diterap. Setelah beberapa bulan tidak ada perkembangan dari hasil proses terapi. Ibu tersebut membawa anaknya kembali ke biro psikologi yang berbeda di kota X, ternyata anak tersebut tidak mengalami autis, tetapi slow learned. Padahal anak tersebut sudah mengkonsumsi obat-obatan dan makanan bagi anak penyandang autis. Setelah diselediki ternyata biro psikologi YYY tersebut tidak memiliki izin praktek dan yang menangani bukan psikolog, hanyalah sarjana psikologi Strata 1. Ibu tersebut ingin melaporkan kepada pihak yang berwajib, tetapi ibu tersebut dengan psikolog itu tidak melakukan draft kontrak dalam proses terapi.
Belum lagi Adnan Saleh, pada selasa 10 April 2012, dalam taman-semesta.blogspot.com menyampaikan bahwa, Pertengahan bulan Februari tahun ini, salah satu organisasi daerah yang ada di Kota Yogyakarta, berasal salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan mengadakan Safari Pendidikan sebagai program yang bertujuan untuk memperkenalkan pendidikan di kota budaya ini termasuk PTN/PTS, saya juga mengikuti program ini. Sasaran dari kegiatan tersebut adalah mengunjungi SMA/SMK secara langsung di kabupaten tersebut.
Memasuki hari pertama, kami mengunjungi beberapa sekolah termasuk tempat dimana saya selesai SMA. Sebagai alumni, beberapa guru dan staf Bimbingan & Konseling masih aku kenal. Hal yang ganjil aku temukan ketika pada saat itu juga diadakan test psikologi, ketika bercerita dengan beberapa staff BK, yang memberi instruksi, intervensi dan supervisi adalah guru yang memiliki pendidikan strata satu dalam pendidikan bergelar S.Pd. lembaga yang mengadakan tes tersebut merupakan Biro Psikologi yang berkedudukan di ibu kota provinsi. Dalam hal ini, biro tersebut telah mengadakan kerja sama dalam bentuk pelaksanaan psikotes dengan sekolah. Biro ini hanya mengirimkan alat tesnya kemudian hasilnya akan dikirim ulang. Bentuk intervensi dan supervisi selanjutnya di serahkan kepada sekolah dalam hal ini kepada staf guru BK. Adapun tes yang diberikan bertujuan untuk melihat kemampuan minat dan bakat penjurusan kelas III (IPA, IPS dan Bahasa).
Di sini dapat kita lihat betapa maraknya pelangaran kasus kasus kode etik psikologi di Indonesia ini, siapa yang mau di salahkan? Apakah oknum oknum psikologi di Indonesia ini yang tidak beres, atau memang system kode etik yang kurang tegas dalam memberikan sanksi terhadap oknum oknum yang melanggar kode kode etik yang telah di tetapkan? Atau mungkinkah Indonesia sendiri yang tidak mau mengurusi dan membentengi kode etik yang telah di tetapkan oleh Himpsi sehingga kode etik dalam psikologi ini terlihat sangat lemah.
Dalam dunia profesi tentunya diperlukan sebuah norma atau aturan untuk mengatur profesionalitas kinerja seseorang. Aturan atau norma tersebut umumnya berisi ketentuan-ketentuan yang membatasi seseorang tentang hal-hal yang boleh dilakukan atau tidak boleh dilanggar. Dalam dunia praktik ilmu psikologi pun juga dikenal sebuah kode etik dimana berisi ketentuan-ketentuan bagi seorang psikolog untuk menjadi seorang yang profesional.
Kode etik psikologi dikeluarkan oleh Himpunan Psikolog Indonesia (Himpsi).
Kode etik psikologi dikeluarkan oleh Himpunan Psikolog Indonesia (Himpsi).
merupakan organisasi perkumpulan para psikolog dan ilmuwan psikologi di seluruh Indonesia. Kode etik Psikologi wajib untuk ditaati oleh seorang Psikolog atau Ilmuwan Psikologi. Seorang psikolog adalah orang-orang yang telah menempuh pendidikan S1 bidang ilmu Psikologi dan telah melanjutkan studinya ke jenjang S2. Seorang Psikolog memiliki hak untuk membuka praktek konsultasi Psikologi. Dalam membuka praktik Psikologi, seorang Psikolog harus mempunyai sertifikat atau lisensi untuk membuka praktik konsultasi psikologi yang dikeluarkan oleh Himpsi. Lisensi tersebut berfungsi sebagai legalitas dan juga sebagai fungsi kontrol dari Himpsi tentang praktik konsultasi psikologi yang dilakukan oleh psikolog tersebut.
Sedangkan ilmuwan psikologi adalah seorang lulusan S1 Psikologi atau seorang yang menempuh pendidikan S2 atau S3 di bidang Psikologi namun pendidikan S1 di luar bidang ilmu Psikologi. Seorang ilmuwan psikologi tidak diizinkan untuk membuka praktik konsultasi Psikologi. Mereka diperbolehkan untuk melakukan jasa Psikologi, seperti melakukan tes psikologi. Namun dalam melakaukan tes Psikologi mereka tidak berwenag untuk melakukan interpretasi. Interpretasi hasil tes psikologi dilakukan oleh seorang psikolog.
Aturan-aturan mengenai hak dan kewajiban Psikolog dan Ilmuwan Psikologi tersebut juga sudah diatur secara jelas dalam kode etik Psikologi Indonesia. Dalam kode etik Psikologi Indonesia juga dijelaskan tentang apa itu jasa Psikologi, praktik Psikologi, pengguna jasa Psikologi, batasan keilmuan Psikologi, tanggung jawab, dan juga aturan-aturan yang lain berkenaan dengan profesionalitas mereka.
Aturan-aturan mengenai hak dan kewajiban Psikolog dan Ilmuwan Psikologi tersebut juga sudah diatur secara jelas dalam kode etik Psikologi Indonesia. Dalam kode etik Psikologi Indonesia juga dijelaskan tentang apa itu jasa Psikologi, praktik Psikologi, pengguna jasa Psikologi, batasan keilmuan Psikologi, tanggung jawab, dan juga aturan-aturan yang lain berkenaan dengan profesionalitas mereka.
Namun, dalam kenyataanya, terkadang tidak semua Psikolog atau seorang Ilmuwan Psikologi mematuhi kode etik tersebut. Pelanggaran terhadap kode etik tersebut tentunya mempengaruhi profesionalitas kerja seorang psikolog atau ilmuwan psikologi.
Dalam Ethical Satandards of The American Counselling Association (Gladding,2007) disebutkan bahwa seorang konselor atau psikolog mempunyai tanggung jawab untuk membaca, memahami, dan mengikuti kode etik dan standard kerja. Sedangkan di Indonesia sendiri, dalam kode etiknya juga sudah diatur mengenai pelanggaran terhadap kode etik. Yaitu dalam pasal 17 yang menyatakan bahwa “Setiap penyalahgunaan wewenang di bidang keahlian psikologi dan setiap pelanggaran terhadap Kode Etik Psikologi Indonesia dapat dikenakan sanksi organisasi oleh aparat organisasi yang berwenang sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga Himpunan Psikologi Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Psikologi Indonesia” (Kode Etik Psikologi Indonesia,2000).
Dalam Ethical Satandards of The American Counselling Association (Gladding,2007) disebutkan bahwa seorang konselor atau psikolog mempunyai tanggung jawab untuk membaca, memahami, dan mengikuti kode etik dan standard kerja. Sedangkan di Indonesia sendiri, dalam kode etiknya juga sudah diatur mengenai pelanggaran terhadap kode etik. Yaitu dalam pasal 17 yang menyatakan bahwa “Setiap penyalahgunaan wewenang di bidang keahlian psikologi dan setiap pelanggaran terhadap Kode Etik Psikologi Indonesia dapat dikenakan sanksi organisasi oleh aparat organisasi yang berwenang sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga Himpunan Psikologi Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Psikologi Indonesia” (Kode Etik Psikologi Indonesia,2000).
Namun, dalam kenyataannya, banyak ditemukan pelanggaran terhadap kode etik yang dilakukan oleh seorang psikolog atatu ilmuwan psikologi. Salah satunya adalah tentang malpraktek psikologi. Malpraktek merupakan praktek psikologi yang jelek, salah dan tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang seharusnya dilakukan. Atau dapat juga dikatakan sebagai penyimpangan terhadap praktek psikologi. Waringah (2011) dalam kuliahnya menjelaskan bahwa sebab-sebab terjadinya malpraktek antara lain adalah penyimpangan alat yang digunakan; penyimpangan prosedur yang digunakan; penyimpangan penggunaan data atau hasil tes psikologi untuk keperluan pribadi; penyipangan tujuan tes psikologis, penyimpangan hubungan konselor dan klien; penyimpangan hak atau karya cipta alat-alat tes psikologis; penyimpangan publikasi; penyimpangan dalam hubungan profesional; dan penyimpangan-penyimpangan lain yang tidak sesuai dengan kode etik Psikologi Indonesia.
Namun, dalam kenyataannya, banyak ditemukan pelanggaran terhadap kode etik yang dilakukan oleh seorang psikolog atatu ilmuwan psikologi. Salah satunya adalah tentang malpraktek psikologi. Malpraktek merupakan praktek psikologi yang jelek, salah dan tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang seharusnya dilakukan. Atau dapat juga dikatakan sebagai penyimpangan terhadap praktek psikologi. Waringah (2011) dalam kuliahnya menjelaskan bahwa sebab-sebab terjadinya malpraktek antara lain adalah penyimpangan alat yang digunakan; penyimpangan prosedur yang digunakan; penyimpangan penggunaan data atau hasil tes psikologi untuk keperluan pribadi; penyipangan tujuan tes psikologis, penyimpangan hubungan konselor dan klien; penyimpangan hak atau karya cipta alat-alat tes psikologis; penyimpangan publikasi; penyimpangan dalam hubungan profesional; dan penyimpangan-penyimpangan lain yang tidak sesuai dengan kode etik Psikologi Indonesia.
Salah satu contoh penyimpangan tersebut adalah adanya mahasiswa S1 yang membuka praktek konseling. Menurut hasil survey dalam APA’s Annual Convention tahun 2011 (dalam http://www.apa.org/monitor/2010/10/google.aspx)hmenemukan bahwa lebih dari 150 mahasiswa lulusan S1 psikologi telah melakukan layanan konseling on line. Baik melalui Mysapce, Facebook, atau LinkedIn. Meskipun konseling tersebut dilakukan secara on line namun hal itu tetap menyalahi kode etik Psikologi. Selain itu, pelaksanaan konseling psikologi secara online juga dapat melanggar hak privasi klien.
Di Indonesia sendiri, ketentuan mengenai hal tersebut telah diatur dalam Pedoman Umum pasal 1 poin a dan b. Dalam kedua poin tersebut dijelaskan bahwa yang seorang ilmuwan psikologi (lulusan S1 Psikologi) hanya berhak memberikan jasa pelayanan psikologi dan tidak berwengan melakukan praktik psikologi. Praktik tersebut termasuk memberikan memberikan jasa dan praktik kepada masyarakat dalam pemecahan masalah psikologis yang bersifat individual maupun kelompok dengan menerapkan prinsip psikodiagnostik. Termasuk dalam pengertian praktik psikologi tersebut adalah terapan prinsip psikologi yang berkaitan dengan melakukan kegiatan diagnosis, prognosis, konseling, dan psikoterapi (Kode Etik Psikologi Indonesia,2000).
Contoh pelanggaran lain yang sering dilakukan oleh seornag peneliti atau ilmuwan psikologi adalah penyimpangan publikasi. Yaitu salah satunya tentang pengakuan hasil karya atau tulisan orang lain sebagai tulisan pribadi atau disebut juga plagiat. Plagiarisme, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai tindakan/perbuatan yang mengambil, menyalin, menduplikasi, dan sebagainya, karya oran lain dan menjadikannya karya sendiri tanpa sepengatahuan atau izin sang pemiliknya. Untuk itu tindakan ini digolongkan sebagai tindakan pidana, yaitu pencurian terhadap hasil karya/ kekayaan intelektual milik orang lain (dalam
http://jual-jurnal.blogspot.com/2010/04/menghindari-plagiarisme-dalam-karya.html).
Ada beberapa jenis pelanggaran yang termasuk dalam plagiarisme. Dalam (http://findarticles.com/?tag=content;col1) disebutkan bahwa jenis plagiarism yang paling sering dilakukana dalah mengirim hasil karya orang lain atas nama pribadi; menyalin informasi kata demi kata dari internet, salah parafrase dan tanpa mencantumkan referensi.
Bagi seorang psikolog atau ilmuwan psikologi yang melakukan plagiarism berarti telah melakukan pelanggaran terhadap pasal 15 kode etik Psikologi Indonesia. Pasal tersebut mengatur tentang “Penghargaan terhadap karya cipta pihak lain dan pemanfaatan karya cipta pihak lain” (Kode Etik Psikologi Indonesia,2000).
Bagi seorang psikolog atau ilmuwan psikologi yang melakukan plagiarism berarti telah melakukan pelanggaran terhadap pasal 15 kode etik Psikologi Indonesia. Pasal tersebut mengatur tentang “Penghargaan terhadap karya cipta pihak lain dan pemanfaatan karya cipta pihak lain” (Kode Etik Psikologi Indonesia,2000).
Dalam pasal tersebut ditentukan bahwa
a) Ilmuwan Psikologi dan Psikolog wajib menghargai karya cipta pihak lain sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku;
b) Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak dibenarkan untuk mengutip, menyadur hasil karya orang lain tanpa mencantumkan sumbernya;
c) Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak dibenarkan menggandakan, memodifikasi, memproduksi, menggunakan baik sebagian maupun seluruh karya orang lain tanpa mendapatkan izin dari pemegang hak cipta”.
Salah satu kasus plagiarism yang cukup mengagetkan di Indonesia adalah kasus Prof Dr Anak Agung Banyu, dosen Universitas Parahyangan (Unpar), yang terpaksa dicopot gelar profesornya karena terbutkti melakukan plagiarism (dalamhttp://yusaksunaryanto.wordpress.com/2010/02/10). Kasus lain tetang kasus plagiarism juga disebutkan dalam Journals Step up Plagiarism Policing. Cut-and-paste culture tackled by CrossCheck software (2010). Dalam jurnal tersebut disebutkan bahwa 21 dari 216 jurnal yang diajukan kepada Scientific American pada periode pertama terpaksa ditolak karena telah terbukti melakukan plagiarism. Sedangkan pada periode kedua ada 13 dari 56 artikel yang ditolak (http://www.scientificamerican.com/article.cfm?id=journals-police-plagiarism).
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan oleh seorang penulis atau peneliti dalam menghindari palgiarism. Yaitu dengan cara mengutip kata atau kalimat orang lain tanpa memparaphrase namun harus digunakan tanda petik dan pencatuman sumbernya. Jumlah kata yang dikutip pun juga dibatasi. Yang kedua adalah dengan menuliskan kembali dengan kalimat sendiri atau melakukan pharaprase dan tetap mencantumkan sumbernya.
Dari pihak akademisi atau penelitian pun ada cara yang dapat ditempuh untuk mendeteksi plagiarism dalam penelitian atau penulisan. Smith, et al (2007) dalam jurnalnya menyebutkan, salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mengantisipasinya adalah dengan cara menyimpan, menyortir, makalah yang dikirimkan oleh mahasiswa melalui email. Tujuan dari data base tersebut adalah untuk membantu menciptakan iklim kejujuran dalam dunia akademik. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Smith, menemukan bahwa makalah yang dikirim oleh mahsiswanya, yang dipilih secara random, menunjukkan adanya plagiarism.
Dari pihak akademisi atau penelitian pun ada cara yang dapat ditempuh untuk mendeteksi plagiarism dalam penelitian atau penulisan. Smith, et al (2007) dalam jurnalnya menyebutkan, salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mengantisipasinya adalah dengan cara menyimpan, menyortir, makalah yang dikirimkan oleh mahasiswa melalui email. Tujuan dari data base tersebut adalah untuk membantu menciptakan iklim kejujuran dalam dunia akademik. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Smith, menemukan bahwa makalah yang dikirim oleh mahsiswanya, yang dipilih secara random, menunjukkan adanya plagiarism.
Hal tersebut digolongkan sebagai ketidakjujuran akademis. Data base yang telah dimiliki dapat membantu mendeteksi kasus ketidakjujuran akademisi seperti memotong dan mem paste dari sebuah situs web atau dengan menyerahkan tugas yang sebelumnya.
Dalam menyelesaikan semua kasus pelanggaran terhadap kode etik Piskologi Indonesia diperlukan keterlibatan beberapa pihak. Mengenai hal ini, keterlibatan Majelis Psikologi Indonesia diperlukan untuk menentukan sanksi apa yang akan diberikan. Pelaku pelanggaran pun juga diberi kesempatan untuk membela diri. Ketentuan ini telah disepakati dalam kode etik Psikologi Indonesia dalam pasal 18.
Dalam menyelesaikan semua kasus pelanggaran terhadap kode etik Piskologi Indonesia diperlukan keterlibatan beberapa pihak. Mengenai hal ini, keterlibatan Majelis Psikologi Indonesia diperlukan untuk menentukan sanksi apa yang akan diberikan. Pelaku pelanggaran pun juga diberi kesempatan untuk membela diri. Ketentuan ini telah disepakati dalam kode etik Psikologi Indonesia dalam pasal 18.
Jadi, sebenarnya kode etik psikologi sejalan dengan perundang-undangan yang berada di Indonesia, apabila pelanggaran kode etik psikologi yang berat dan menyakiti orang lain dapat sejalan dengan hukum kriminalitas dan mendapat saksi yang serupa dengan perundang-undangan di Indonesia, namun pelanggara kode etik psikologi yang bersifat Administrasi belum dapat di atasi oleh Indonesia sepenuhnya, maklum negeri ini masih dalam negeri yang sedang berkembang dan memiliki problematika yang konkret.
Artikel Kesehatan Psikologis Klinis
Kesehatan Psikologis Klinis
Psikologis Klinis
A. Pengertian Psikologis Klinis
Psikologis klinis menurut Witemer tahun 1912 adalah metode yang digunakan untuk mengubah atau mengembangkan jiwa seseorang berdasarkan hasil observasi dan eksperimen dengan menggunakan teknik pedagogis. Ada beberapa ciri yang terdapat dalam psikologis klinis :
1. Memiliki orientasi ilmiah-profesional yaitu adanya ciri berupa penggunaan metode ilmu dan kaidah psikologi, dalam pemberian bantuan terhadap indiovidu yang menderita kecemasan. Psikologi melalui intervensi dan evaluasi psikologis.
2. Menampilkan kompetensi psikologi, karena psikologi klinis terlatih dalam menggunakan petunjuk dan pengetahuan psikologi dalam kerja professional.
3. Menampilkan kompetensi klinisi karena berusaha mengerti orang lain
4. Ilmiah, karena menggunakan metode ilmiah untuk mencapai presisi dan objektivitas dalam cara kerja profesionalnya dengan tetap melakukan validasi untuk setiap individu yang ditangani
5. Profesional, karena lebih menyumbangkan pelayanan kemanusiaan yang penting bagi individual, kelompok social dan komunitas untuk memecahkan masalah.
B. Orientasi Psikologi Klinis
Terdapat hubungan yang jelas dan dekat antara psikologi klinis dan psikologi abnormal dan kemudian tentu saja psikiatri. Tugas yang dihadapi psikologi klinis adalah memahami masalah-masalah yang dihadapi pasien dan cara pasien menyelesaikan aspek kepribadian. Untuk tujuan orientasi teoritis studi klinis mengenai kepribadian terdapat aspek kepribadian yang perlu dipahami :
1. Motivasi Adalah kebutuhan psikologi yang telah memiliki corak atau arah yang ada dalam diri individu yang harus dipenuhi agar kehidupan kejiwaannya terpelihara yaitu senantiasa dalam keadaan seimbang. Pada awalnya kebutuhan itu hanya berupa kekuatan dasar saja. Namun selanjutnya berubah menjadi suatu vector yang disebut motivasi karena memiliki kekuatan dan arah.
2. Kapasitas Kapasitas adalah karakteristik individu yang adjustic, termasuk dalam hal adalah kapasitas intelektual untuk mencapai tujuannya sendiri dan untuk tuntutan yang dikehendaki lingkungan. Pentingnya pemahaman mengenai kapasitas ini bagi psikologi klinis adalah untuk memperkirakan dalam bidang apa saja dan seberapa kuat individu memiliki sumber stress, baik dalam keadaan frustasi, konflik maupun tertekan.
3. Pengendalian Yang dimaksud dengan pengendalian adalah proses yang dilakuakan individu saat menggunakan kapasitasnya dan mengekang motivasi impulsive ke dalam saluran yang berguna bagi penyesuian dirinya, yang secara social diterima.
Perkembangan kemampuan mengendalikan diri terjadi sejak masa bayi. Tepatnya saat bayi mulai belajar menghadapi frustasi. Ada lima wujud pengendalian yaitu pengendalian berlebih (represi), lemah (under control), tentantif (cemas), terganggu disebut juga sebagai pengendalian yang inadequate dan pengendalian ideal (pengendalian yang melahirkan penyesuaian yang tepat).
Peranan Psikologi Klinis
Tugas professional seorang psikolog klinis adalah mengimplementasikan prinsip dasar psikologis klinis sebagai ilmu terapan. Berkaitan dengan tugas ini, ada beberapa peranan yang dimiliki psikolog klinis sebagai berikut :
1. Terapan Istilah khusus untuk psikologi adalah psikoterapi. Pada umunya terapi menampilkan empat gambaran kegiatan yaitu : Membantu hubungan murni yang bersifat memelihara hubungan antara terapis dan pasien.
a. membantu klien melakukan eksplorasi (pengalihan diri)
b. terapis dank lien bekerjasama memecahkan masalah
c. terapis membangun sikap dan mengerjakan ketrampilan atau cara kepada pasien untuk menggulangi stress.
2. Assesment Assessment adalah propses yang digunakan psikolog klinis untuk mengamati dan mengevaluasi masalah social dan psikologis pasien, baik menyangkut keterbatasan maupun kelebihannya.
3. Mengajar Mengajar adalah memberikan informasi dan pelatihan mengenai topic-topik yang termasuk ruang lingkup pengetahuan yang melandasi profesinya, seperti psikologi klinis, psikologi abnormal, dll.
4. Konsultasi Termasuk memberikan bimbingan bagi perseorangan, kelompok atau badan system dan organisasi untuk mengembangkan kualitas diri. Disebut konsultasi karena tujuan psikolog klinis dalam hal ini membantu pasien melalui pekerjaan atau permasalahan mereka.
a. Administrasi Dilaksanakannya oleh psikolog klinis sesuai dengan jabatannya dalam posisi manajerial seperti di RS, klinik, dll.
b. Penelitian Dikerjakan oleh psikologi klinis dalam berbagai macam bentuk riset investigasi, mengkaji keefektifan berbagai pendekatan terapi atau konsultasi, penyebab dan akibat dari disfungsi psikologis.
C. Psikologi Kesehatan
Seperti yang kita lihat pada pembahasan diatas, renovasi-renovasi di dalam pendekatan-pendekatan memiliki reaksi yang keras terhadap disiplin psikologi sendiri. Karena adanya minat terhadap bidang baru ini, suatu disiplin ilmu baru muncul. Definisi psikologi kesehatan mencakup definisi sebagai berikut :
1. Psikologi kesehatan menyangkut bagian khusus dari bidang ilmiah psikologi yang memfokuskan pada studi perilaku yang memiliki kaitan dengan kesehatan dan penerapan dari kesehatan ini.
2. Penekanan pada peran perilaku yang normal di dalam mempromosikan kesehatan (promosi kesehatan dan pencegahan dasar) pada level mikro, meso dan makro dan menyembuhkan penyimpangan kesehatan.
3. Banyak bidang psikologi yang berbeda dapat memberikan sumbangan kepada bidang psikologi kesehatan.
D. Pola Perilaku
Penelitian-penelitian yang terbaru banyak dilakukan untuk meneliti factor-faktor kepribadian dan atau pola-pola perilaku sebagai factor resiko untuk penyakit jantung koroner dan penyakit kardiovaskuler.
1. Perilaku tipe A Tipe A pertama kali digambarkan secara jelas dan diukur oleh Friedman dan Rosenman di tahun 1959. aslinya hal ini digambarkan sebagai gaya perilaku dan emosi. Sekarang beberapa penulis memandang tipe A sebagai cirri sifat kepribadian yang pasti, sementara yang lain menggambarkan hal ini sebagai pola penggiatan perilaku yang kuat dan terus menerus yang biasanya merupakan dimulai dari diri sendiri. Tipe A meliputi disposisi perilaku, perilaku dan rsepon emosional yang khusus. Kebanyakan para penulis setuju dengan adanya tiga ciri-ciri utama tipe A :
a. Orientasi persaingan prestasi, ambisius, kritis terhadap diri sendiri.
b. Urgensi waktu, berjuang melawan waktu, tidak sabaran, melakukan pekerjaan berbeda-beda dalam waktu yang sama.
c. Permusuhan, mudah marah, kadang-kadang agresif. Khususnya selama 20 tahun pertama dan publikasi dan riset, nampaknya tipe A mempunyai hubungan kuat dengan CHD. Laki-laki tipe A mempunyai resiko
2 kali lipat untuk mengalami CHD. Sebagai tambahan, orang-orang tipe A memiliki gaya coping terhadap stress yang berbeda dan lebih cenderung untuk menggunakan control terhadap lingkungan mereka. Bagaimanapun sejak tahun 1980-an hasil-hasil riset menjadi lebih membingungkan dan banyak peneliti tidak menemukan hubungan yang signifikan antara perilaku tipe A dan penyakit jantung koroner sama sekali. Walaupun besarnya kesulitan-kesulitan dalam pengukuran perilaku tipe A, malahan definisi operasional perlu diperkuat dan penelitian epidemiologis masa depan harus mengusahakan secara prospektif memvalidasi komponen-komponen tipe A melawan perkembangan CHD. Tipe A juga telah diteliti pada anak-anak dan remaja. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa anak-anak tipe A lebih reaktif terhadap stress daripada anak-anak yang non tipe A. Pada umunya, anak-anak pria lebih memiliki kemungkinan meniru perilaku tipe A dan orang tua mereka daripada anak-anak perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa tipe A berkembang sebagai interaksi antara keturunan dan gaya pengasuhan. Selanjutnya Nay & Wagner mengetahui bahwa anak-anak tipe A memiliki harga diri lebih rendah, lebih eksternal locus of controlnya dan tingkat kecemasan lebih tinggi daripada teman-teman yang bukan tipe A. Mekanisme coping terhadap stress dan tipe kognisi juga mungkin berbeda antara subjek tipe A dan tipe B.
3. Kepribadian ketabahan Hardiness Tipe kepribadian atau pola perilaku lain yang sering dibicarakan akhir-akhir ini adalah ketabahan (hardiness atau hardy personality) sebuah gagasan konsep dari kobasa. Konseptualisasinya tentang hardiness sebagai tipe kepribadian yang penting sekali pada perlawanan terhadap stress, didapat dari teori eksistensial kepribadian. Dia mulai dengan adanya perbedaan-perbedaan interpersonal dalam control pribadi dan mengkombinasikan variable ini dengan yang lain, agar dapat dihasilkan tipe kepribadian yang lebih komprehensif. Hardiness memasukkan tiga sifat dasar :
a. Kontrol pribadi
b. Komitmen; tingkat keterlibatan dalam peristiwa-peristiwa, aktivitas-aktivitas dan orang-orang.
c. Tantangan; kecenderungan memandang adanya perubahan sebagai suatu kesempatan untuk tumbuh dan bukan suatu ancaman keselamatan.
Hardiness dianggap menjaga seseorang tetap sehat walaupun mengalami kejadian-kejadian hidup yang penuh stress. Meskipun Kobasa sendiri dan ahli lain menekankan bukti penelitian yang kuat yang mendukung keadaan dan relevansi hardiness, ada juga banyak kritik. Kritikan yang diberikan pada kepribadian tipe A berlaku pul untuk tipe hardiness; operasionalisasi komponen tersebut nampak sulit, tidak semua dari komponen membantu prediksi hasil kesehatan (misalnya tantangan) dan masalah utama tentang perannya penengah dalam kondisi dan perilaku kesehatan seseorang tidak terjawab dengan tuntas.
3. Lain-lain Optimisme dan perasaan pertalian akhir-akhir ini telah untuk melihat kemampuannya dalam ramalan penyembuhan pembedaan. Keduanya ditemukan sangat mampu meramalkan perbaikan dalam aspek-aspek positif dari penyembuhan setelah mengontrol tingkat pre pembedahan. Perasaan pertalian ditemukan menjadi predictor lebih penting dari pada optimisme dalam konteks ini. Bagaimanapun kedua factor kepribadian ini tidak memprediksikan perbaikan dalam penderitaan atau nyeri, dekat dengan factor perasaan pertalian adalah konsep integrity. Sampai sekarang tipe kepribadian yang lain belum dapat dijelaskan dengan gambling seperti halnya tipe A dan tipe ketabahan. Jelaskan, ditemukan banyak overlap antara konsep tersebut dan metode ukuran kurang konsisten. Disamping itu, masih ada kebutuhan untuk penelitian prospektif yang menyelidiki kualitas interaktif dari factor kepribadian tersebut, dengan variable kepribadian lainnya dan variable lingkungan. Kami akan memberi satu contoh yang menggambarkan kompleksitas factor-faktor kepribadian tersebut. Telah dinyatakan bahwa aspek-aspek hardiness meliputi aspek optimisme. Dalam gilirannya, optimisme telah diteliti dari perspektif atribusi; beberapa pengarang menyatakan bahwa optimisme dikaitkan dengan gaya atribusi seseorang. Atribusi-atribusi pada gilirannya, dikaitkan dengan keinginan untuk mengontrol lingkungan. Dan ini sebenarnya merupakan satu dari konsep dasar hardiness. Jadi, melangkah dari satu gaya kepribadian ke gaya kepribadian lain, kita tinggal dalam lingkaran setan. Jelaslah masih perlu banyak penelitian untuk menjelaskan hubungan antara tipe-tipe kepribadian dengan hasil kesehatan.
F. Terminologi Kesehatan
Kesehatan adalah salah satu konsep yang telah sering digunakan namun sukar dijelaskan artinya. Factor yang berbeda menyebabkan sukarnya mendefinisikan kesehatan, kesakitan dan penyakit. Meskipun begitu, kebanyakan sumber ilmiah setuju bahwa definisi kesehatan apapun harus mengandung paling tidak komponen biomedis, personal dan sosiokultural. Secara harfiah, konsep ini adalah suatu idealisasi yang tidak menganggap bahwa tidak tercapainya kesejahteraan yang sementara merupakan kekuatan yang mendorong perilaku manusia dalam kehidupan yang normal. Konsep ini kurang memandang kesehatan sebagai suatu proses dan tidak memiliki kesamaan dengan komponen khusus kesehatan. Meskipun demikian, dengan merubah focus terhadap aspek positif kesehatan dan memperluas lingkup dimensionalnya, definisi WHO memberikan pengaruh yang besar. Sebagai contohnya, hal ini mendorong yang lain untuk menjelaskan definisi tersebut.
G. Penyakit – Kesakitan
Penyakit (disease) dan kesakitan (illness), meskipun sangat berkaitan satu dengan yang lainnya, namun mencerminkan suatu perbedaan yang fundamental dan konsepsional tentang periode sakit. Jadi penyakit adalah sesuatu yang dimiliki suatu organ, sedang “illness” adalah sesuatu yang dimiliki seseorang. Kesakitan adalah respon subyektif dari pasien serta rsepon di sekitarnya, terhadap keadaan tidak sehat. Tidak hanya memasukkan pengalaman tidak sehatnya saja, tapi juga arti pengalaman tersebut bagi dia. Justru arti inilah menentukan bahwa penyakit atau gejala yang sama, bisa ditafsirkan secara sangat berbeda oleh dua pasien yang berasal dari budaya yang berbeda. Hal ini juga akan mempengaruhi perilaku mereka selanjutnya serta jenis perawatan yang dicari.
H. Perilaku Kesehatan
Definisi tersebut tidak hanya meliputi tindakan yang dapat secara langsung diamati dan jelas tetapi juga kejadian mental dan keadaan perasaan yang diteliti dan diukur secara tidak langsung. Sebagai tambahan, definisi komprehensif Gochman merangkum beberapa definisi dan atau klasifikasi perilaku kesehatan yang lain. Di Indonesia istilah “perilaku kesehatan” sudah lama dikenal dalam 15 tahun akhir-akhir ini konsep-konsep di bidang perilaku yang berkaitan dengan kesehatan ini sedang berkembang dengan pesatnya. Khususnya, di bidang antropogi medis dan kesehatan masyarakat. Haruslah dicatat bahwa istilah perilaku kesehatan dapat menimbulkan beberapa kesimpangsiuran. Istilah ini dapat memberikan pengertian bahwa kami hanya berbicara mengenai perilaku yang secara sengaja dilakukan dalam kaitannya dengan kesehatan. Kenyataannya banyak sekali perilaku yang dapat mempengaruhi kesehatan, bahkan seandainya seseorang tidak mengetahuinya atau melakukannya dengan alas an yang sama sekali berbeda. Sebagai contoh, seseorang mungkin melakukan olahraga hanya untuk mengadakan hubungan social, bukan untuk menjaga kesehatan. Atau gosok gigi karena kebiasaan bukan karena alasan kesehatan.
I. Status Kesehatan
Status kesehatan adalah keadaan kesehatan pada waktu tertentu. Karena itu, status kesehatan tidak sama dengan perilaku kesehatan. Bagaimanapun, menurut Cochman, persepsi seseorang terhadap status atau persepsi peningkatan, kesembuhan atau perubahan lain pada status kesehatan adalah perilaku kesehatan.
Faktor Resiko dan Faktor Protektif
Faktor Resiko Dalam bidang kesehatan, konsep factor resiko (dan perilaku beresiko, kelompok beresiko) merupakan konsep kunci dalam penelitian, peningkatan teori serta pencegahan dan promosi kesehatan. Dulu, penggunaan konsep resiko merupakan biomedis yang memantulkan perhatian akan hasil yang merugikan yang berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas. Sebagai contoh, hipertensi dan kolesterol berserum tinggi merupakan factor resiko bagi penyakit kardiovaskuler. Akhir-akhir ini pencarian epidemiologi terhadap factor resiko penyakit dan kesakitan, khususnya bagi penyakit kronis, telah berkembang menjadi dua bidang baru lingkungan social dan perilaku. Komponen perilaku dapat dilihat dalam dua aspek perkembangan penyakit. Pertama, perilaku mempengaruhi factor resiko penyakit tertentu. Factor resiko adalah cirri-ciri kelompok individu yang menunjuk mereka sebagai at high risk terhadap penyakit tertentu. Sebagai contohnya, kelompok orang yang makan makanan dengan asam lemak yang tinggi biasanya meningkatkan derajat kolesterol serum, factor resiko bagi penyakit jantung koroner. Kedua, perilaku itu sendiri dapat berupa factor resiko utama baik bagi penyakit jantung koroner maupun kanker paru karena kemungkinan mendapatkan penyakit ini lebih besar pada perokok daripada orang yang tidak merokok. Tinjauan pustaka menyangkal bahwa ada konsesus mengenai beberapa perilaku beresiko yang menyolok. Kokeny menyebutkan diet, kegiatan fisik, merokok dan penyalahgunaan minuman keras dan obat-obatan, resiko lingkungan manusia dan resiko lingkungan. Psychosomatic medicine mulai memfokuskan diri pada pendekatan-pendekatan dan teori-teori baru yang menyangkut hubungan antara factor psikologis dan social, fungsi biologis dan psikologis, dan perkembangan masalah penyakit. Definisi ini secara jelas memantulkan adanya kesadaran akan pentingnya peran aspek-aspek psikologis dan perilaku di dalam perawatan kesehatan, sebaik kebutuhan suatu disiplin yang mengintegrasikan riset dan praktek perilaku di dalam perawatan medis. Walaupun paradigma dasarnya adalah model medis, keistimewaan relevansi disiplin ini ada karakter interdisiplinernya. Behavioral medicine, yang menghadapi kesehatan, kesakitan dan disfungsinya yang berkaitan, bersandar pada kontribusi macam-macam disiplin seperti psikologi, sosiologi, epidemiologi, neuroanatomi, imunologi, nursing, pekerja social dan banyak lagi yang lain. Topic-topik behavioral medicine adalah mekanisme penyakit (seperti : peran stress atau tipe A pada penyakit kardiovaskuler, kesabaran para pengambil keputusan, ketaatan, efektivitas pendidikan kesehatan, efektifitas modifikasi perilaku yang kurang sehat, efektifitas pengurangan secara langsung illness (asma, hipertensi, sakit kepala, dll) dan perilaku kesakitan/ illness behavior pada tingkat individu dan kelompok. Bagaimanapun, Gochan menentang bahwa behavior medicine menghadapi ketegangan, stress atau kecemasan dan penyimpangan non fisik lain yang mempunyai kaitan sangat penting dengan keseluruhan kesejahteraan individu, hanya kalau hal tersebut berkaitan dengan gangguan fisik yang khusus. Penting untuk dicatat adalah bahwa behavioral medicine akhir-akhir ini tidak hanya menekankan integrasi dari ilmu perilaku (behaviorism dan teori belajar yang murni, contohnya bio-feedback) dan ilmu biomedis dalam usaha – usaha perawatan kesehatan. Perubahan konsep kesehatan, evolusi dalam perawatan kesehatan dan evolusi lainnya, mengakibatkan penerapan psikologi yang baru dalam perawatan kesehatan dan masyarakat yang berikutnya : a. Pertama, psikologi cenderung menjadi lebih terapan (tidak hanya akademis) b. Kedua, masalah yang penting dari kesehatan (dan tidak hanya kesehatan mental), mempengaruhi sub disiplin psikologis, tidak hanya klinis tetapi juga sebagai contoh psikologi organisasi (contohnya, stress dan kesakitan dalam perusahaan). c. Faktor yang ketiga yaitu adanya keberhasilan yang terbatas dari psikodiagnostik dan intervensi individual (kuratif), dkebutuihan untuk pencegahan pada skala yang lebih besar (community approach). Oleh karenanya, lebih banyak pengetahuan, penelitian dan ketrampilan diperlukan untuk menyelidiki unsure penentu dasar perilaku.
Langganan:
Postingan (Atom)